Permainan yang Membuatku Menangis Bukan Milikku

Dulu saya pikir menang adalah tujuannya. Kemudian saya memainkan momen viral pertama—tingkat menang 90%, neon drum桑巴 berdetak seperti harapan palsu di layar retak. Sistem bisik: ‘Anda tidak kehilangan kendali… Anda tak pernah benar-benar berkuasa.’ Dan untuk kedua kalinya, saya percaya itu. Mereka menyebutnya ‘menyenangkan.’ Sebuah kata yang dibungkus glitter pemasaran, dijual sebagai desain etis. Tapi di balik setiap simbol animasi—a tiket emas, garis bonus—is jeritan sunyi seseorang yang lupa cara merasakan. Saya tidak ketagihan pada acak. Saya ketagihan pada keheningan di antara putaran. RNG tak peduli jika Anda menang. Ia hanya peduli jika Anda terus mengklik. Saya berhenti bermain saat menyadari: ini bukan tentang uang—ini tentang ruang di antara napas dan layar indigo (#1E1E3F). Di situlah keraguan hidup—and ini tanah suci. Orang tua saya di Chicago bertanya kenapa saya menatap meja sepanjang malam. ‘Kenapa Anda masih login?’ kata mereka. Karena saat algoritma berhenti bicara, saya mulai mendengarkan. Tak ada pola di sini—hanya gema dari apa yang dikatakan padaku agar bahagia. Mereka monetisasi kebahagiaan seperti hak air—dijual dalam langganan $9/bulan sambil bisik ‘permainan bertanggung jawab’ ke tulangmu. Saya tidak kehilangan kendali. Saya hanya berhenti berpura-pura bahwa saya punya.