Permainan yang Membuatku Menangis Bukan Milikku

Dulu kubayangkan menang adalah algoritma. Tiap malam, kubuka aplikasi—hanya 20 menit, kartu Rp10, tak lebih. Sistem menjanjikan kegembiraan lewat keacakan. Tapi kegembiraan bukan milikmu—ia disewa. Angka yang kautandai? Sekejap kendali yang tak pernah kau punya. Kubelepas keyakinan pada ‘Thunder Bingo’ sebagai takdir. Bukan Zeus yang melempar emas—tapi aku—lelah, sendirian, memandangi layar setelah kerja—memilih pola karena terasa benar. Hadiah sejati bukan Rp12.000. Itu adalah jam setelah tengah malam saat ku berhenti bermain—and merasakan sesuatu yang utuh untuk pertama kalinya. Mereka jual ‘pengalaman edisi terbatas’ seperti relik suci. Tapi jiwimu tak butuh kartu lagi. Ia butuh ruang untuk meragukan. Ku bergabung dengan komunitas Discord sekali—melihat seseorang screenshot kemenangannya, menangis sambil tersenyum. Mereka menyebutnya ‘keberuntungan ilahi.’ Ku bisik balik: ‘Kau tak kehilangan kendali… kau tak pernah benar-benar mengendalikan.’ Dan saat itulah ku tahu: Permainan itu tak membuatku kaya—Ia membuatku manusia.