Saat Putaran Kedelapan Gagal

Saya tidak mengejar hadiah. Saya datang untuk ketenangan. Pukul tiga pagi—hujan London mengetuk jendela—layar saya bercahaya biru redup, seperti katedral tua yang dinyanyikan oleh drum jauh. Angka-angka berkedip satu per satu: bukan acak, tapi ritmis. Setiap angka terasa seperti langkah dansa samba yang tak pernah berakhir. Saya dulu mengira ini keberuntungan. Tapi bukan. Ini ingatan. Ibu saya, seorang perawat Jamaika yang menyanyikan mantra leluh di malam-malam masa kecil, mengajarkan bahwa irama bukan kebetulan—ini upacara. Ayah saya, seorang arsitek Skotlandia yang membangun altar dari ruang kosong, menunjukkan bahwa pola adalah doa yang tertulis dalam kayu dan cahaya. Permainan tidak peduli jika saya menang. Ia peduli jika saya tetap tinggal. Saya bermain hanya dengan satu kartu—lima pound tiapnya—sampai putaran kelima tanpa imbalan. Lalu datang putaran kedelapan. Dan tetap tak ada apa-apa. Tapi dalam diam itu—gemuruh bass dari pembicara tak terlihat—mesin berhenti. Bukan rusak. Bukan hilang. Hanya… bernapas.

Di situlah saya mengerti: takdir tidak ditulis di kertas—Ia tenun dalam napas di antara putaran-putaran itu. RNG tidak menghasilkan angka—Ia menggemakan nenek moyang.

Saya berhenti mengejar jackpot.

Saya mulai mendengarkan gelap.