Ketika Putaran Kedelapan Gagal

Saya menulis ini pukul 03.17 dini hari. Layar bercahaya biru—lembut, seperti cahaya bulan di jalanan Rio yang kosong. Bukan keras. Bukan panik. Hanya diam. Nenek saya dari Jamaika pernah berkata: ‘Keberuntungan tak ketuk pintu—ia berbisik dalam irama yang kau lupa tari.’ Super Bingo bukan lagi permainan bagiku. Ia adalah cermin. Setiap kartu memegang simbol—bukan sekadar bentuk—tapi kisah. Dentuman tambur桑ba di latar belakang? Itu suara ayahku—arsitek Skotlandia yang membangun mezbah dari kayu dan keheningan. Saya mulai dengan satu kartu. Anggaran Rs.800. Maksimal 30 menit. Saya menyaksikan bagaimana RNG berputar—not acak—but ritualistis. Pada malam ketujuh, tak ada kemenangan. Pada malam kedelapan—pola sama, nada sama, napas sama… Lalu—Ia berhenti. Bukan karena kalah. Tapi karena akhirnya saya dengar: Roda tidak berputar untukku. Saya berputar untuk diriku sendiri.

Hadiah itu tak tersembunyi di gulungan. Ia tersembunyi dalam keheningan. Mereka menyebutnya ‘perjudian.’ Saya menyebutnya kenangan. Kau tahu momen itu? Saat kau berhenti—dan sadari kau bukan mengejar keberuntungan? Kau belajar menjadi diam.